Seorang Pria Bernama Richard Sutanto, Warga Surabaya Tega Menjebloskan Dua Teman Bisnisnya ke Penjara
indopers.net, Surabaya
Drama hukum ini telah mencapai meja persidangan PN Surabaya. Bahkan, kasus dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta autentik itu mulai mencapai puncaknya.
JPU I Gede Willy Pramana dari Kejari Kota Surabaya menuntut dua orang ini dengan hukuman 4,5 tahun. Mulanya, Richard, Irwan dan Benny yang warga Graha Famili, Surabaya Barat, adalah teman bisnis.
Bertiga, mereka membangun PT Hobi Abadi Internasional. Richard menjadi komisaris, Benny sebagai direktur utama, sementara Irwan adalah direktur. Mereka masing-masing memegang 200 lembar saham atau total 600 lembar saham. Tiap 200 lembar saham, bernilai Rp 200 juta.
Mereka berbisnis di bidang penjualan produk tertentu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Richard sebagai komisaris, cawe-cawe urusan direksi.
Sejumlah transaksi tidak masuk ke rekening perusahaan. Melainkan, langsung masuk rekening Richard. Karena merasa tidak berjalan baik, Irwan dan Benny mengajak Richard untuk membubarkan perusahaan tersebut.
Dua kali pertemuan, ketiganya hadir. Namun, pada pertemuan ketiga untuk proses pembubaran perusahaan, Richard absen. Bahkan, Irwan dan Benny berkali-kali mengundang Richard untuk pembubaran, tapi tak ada tanggapan.
Sehingga, keduanya memutuskan untuk menggelar RUPS-LB PT Hobi Abadi Internasional. Mereka juga memutuskan menurunkan Richard dari jabatan komisaris.
Tetapi, kepemilikan saham Richard di PT tersebut tidak hilang. Namun, begitu RUPS-LB selesai, tiba-tiba saja, polisi Polrestabes Surabaya mendatangi Irwan dan Benny.
Richard melaporkan keduanya telah menghilangkan saham milik Richard di PT tersebut dalam keputusan RUPS-LB.
Kasus ini sempat masuk pra peradilan. Namun, hakim PN Surabaya menolaknya, tahun 2021 lalu. Setelah proses persidangan, kini kasus tersebut masuk pembacaan tuntutan 4,5 tahun penjara.
Jaksa penuntut umum (JPU) berikan tuntutan di luar prediksi. Yaitu empat tahun dan enam bulan. Tuntutan itu diberikan kepada dua direksi PT Hobi Abadi Internasional (HAI) Yakni terdakwa Irwan dan Benny Soewanda.
JPU pengganti yakni I Gede Willy Pramana yang membacakan tuntutan itu di hadapan Ketua Majelis Hakim Martin Ginting. Dua hal yang menjadi tolok ukur jaksa memberikan tuntutan itu. Pertimbangan yang memberatkan, kedua terdakwa itu berbelit-belit dalam memberikan keterangan.
Lalu, perbuatan terdakwa itu berpotensi menghilangkan gaji pelapor Richard Sutanto sebesar Rp 58 juta. Richard juga mengaku kehilangan dua merk dari pihak ketiga. Terakhir perbuatan para terdakwa itu meresahkan masyarakat.
Sementara pertimbangan yang meringankan adalah kedua terdakwa belum pernah dihukum dan mereka merupakan tulang punggung keluarga. Mereka (terdakwa) terjerat pasal 266 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mendengar putusan itu, Dian Seicillia istri Irwan langsung menangis sejadi-jadinya.
Dia tidak menyangka kalau orang yang dicintainya itu terancam tinggal di Hotel Prodeo selama empat tahun lebih. Perasaan yang sama juga dirasakan ibu terdakwa Irwan. Beberapa kali dirinya berteriak nama Presiden RI. Dia meminta hukum harus ditegakkan.
Sebab, dirinya merasa anaknya tidak pernah melakukan tindak pidana yang dituduhkan itu. “Pak Jokowi tolong pak. Anak saya dijerumuskan ke sel. Padahal, anak saya tidak salah. Kami butuh keadilan pak presiden. Tolong bantu kami agar hukum di Indonesia ditegakkan seadil-adilnya,” kata ibu terdakwa Irwan, Swee saat ditemui usai persidangan di PN Surabaya.
Sementara itu, juru bicara tim penasihat hukum terdakwa yakni Bima Putera Limahardja melihat adanya kejanggalan dalam tuntutan. Ada pertimbangan jaksa yang tidak ada dalam dakwaan, yakni pelapor yang merasa dirugikan karena gaji sebesar Rp 58 juta hilang. Menurutnya, pertimbangan itu tidak pernah tertuang dalam dakwaan.
Pertimbangan itu tidak pernah sama sekali tertuang dalam dakwaan sebagai obyek perkara. Di dakwaan hanya tertuang kalau Richard Sutanto mengalami kerugian sebesar 200 lembar saham. Total kerugian yang dialami saksi pelapor itu sebesar Rp 200 juta.
Selain itu, kata Bima, Richard sendiri tidak mengakui isi dakwaan. “Pelapor tidak mengetahui isi dakwaan. Ia malah menyalahkan dakwaan jaksa. Kalau saksi korban atau pelapor saja sudah membantah, terus persidangan ini jalan atas dasar apa? Apalagi sampai tuntutan,” tegasnya.
Parahnya lagi, di persidangan awal, Richard sendiri tidak mengakui isi dakwaan JPU. “Pelapor tidak mengetahui isi dakwaan. Ia malah menyalahkan dakwaan jaksa. Kalau saksi korban atau pelapor saja sudah membantah, terus persidangan ini jalan atas dasar apa? Apalagi sampai tuntutan,” tegasnya.
Juga saksi penting yakni notaris Adhi Nugroho tidak dihadirkan dalam persidangan. Padahal, berkaitan pemberian keterangan palsu sesuai dalam pasal 266. “Kenapa notaris yg menerbitkan akte tidak dihadirkan dalam pemeriksaan ataupun dalam persidangan. anehnya lagi, kenapa kasus ini dinyatakan lengkap di kejaksaan,” ucapnya.
Lalu, kalau Richard mengaku ada kerugian, fakta yang ditemukan selama persidangan, saham yang dituduhkan tadi tetap ada. Selain itu, ahli juga mengatakan kalau RUPS luar biasa itu dilakukan sudah sesuai dengan SOP. “Ahli juga menegaskan kalau kasus ini harus ada keterangan notaris,” bebernya.
Karena itu, Bima menegaskan kalau tuntutan jaksa itu tidak sesuai dengan fakta persidangan. Karena itu, tim penasihat hukum terdakwa itu akan melaporkan kondisi yang mereka alami itu ke presiden RI dan ke Kejaksaan Agung. “Hukum jangan tajam ke bawah dan tumpul ke atas dong,” tegasnya.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, JPU Sulfikar mengatakan kalau pertimbangan memberatkan itu dituliskan berdasarkan fakta persidangan. “Tidak ada melihat ke sisi lainnya. Pertimbangan itu sesuai dari fakta persidangan saja,” ucapnya.
Dalam dakwaan tertulis, permasalahan itu berawal saat pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham luar biasa (RUPS-LB). Rapat itu dilakukan November 2020 lalu, di Max One Hotel Dharmahusada. Saat itu, Richard tidak hadir.
Padahal, kedua terdakwa sudah mengundang Komisaris PT HAI yaitu Richard melalui surat kabar. Usai RUPS-LB itu, tatanan direksi berubah. Terdakwa Benny menjadi direktur. Sementara terdakwa Irwan menjadi komisaris. Penetapan itu sudah ditulis diakta notaris.
Richard tidak lagi sebagai komisaris. Juga tidak memiliki jabatan di perusahaan itu. Juga dalam dakwaan itu Richard mengaku saham di PT HAI juga hilang. Saham sebanyak 200 lembar. Senilai Rp 200 juta. Saksi korban adalah satu-satunya orang diberhentikan dalam RUPS.
Beberapa pertimbangan tindakan itu dilakukan. Pertama, saat menjadi komisaris, Richard seringkali bertindak seakan-akan, dirinya adalah orang yang paling berwenang atas perusahaan tersebut. Hal itu bertentangan dengan tugas dan wewenang dari seorang anggota Dewan Komisaris.
Padahal, tugas komisaris sudah diatur dalam anggaran dasar perseoran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lalu, para terdakwa menilai Ricard secara aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung telah menginformasikan, menginstruksikan dan memerintahkan kepada konsumen untuk memberikan pembayaran barang ke rekening pribadi Richard.
Bukan rekening perusahaan. Richard juga telah menguasai beberapa asset perusahaan. Mulai dari kendaraan sampai pada persediaan barang dagangan milik perusahaan. Karena pertimbangan itu, akhirnya, saksi korban dikeluarkan dari direksi.
Dikonfirmasi secara terpisah, JPU Sulfikar menyebut bahwa pertimbangan memberatkan dituliskan berdasarkan fakta persidangan. “Tidak ada melihat ke sisi lainnya. Pertimbangan itu sesuai dari fakta persidangan saja,” tegas JPU Sulfikar pada awak media mengakhiri perbincangan.
( Rudy )
1,514 total views, 3 views today