Pajak Impor Biji Plastik 10% Dinilai Memberatkan Pengusaha
indopers.net, Solo (Jateng)
Musyawarah Nasional GIATPI ke XV yang di selenggarakan Solo. Menimbulkan pertanyaan besar, agar pemerintah meninjau ulang bea masuk sebesar 10% yang ditetapkan atas import bahan baku biji plastik.
Menurut salah satu sumber yang dipercaya, penetapan bea masuk 10% atas barang import biji plastik dimaksudkan sebagai proteksi industri hulu biji plastik dalam negeri, agar dapat meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi volume kebutuhan dalam negeri. Akan tetapi sampai tahun 2020 menurut data dari kementerian perindustrian, industri hulu biji plastik belum mampu menyuplai keseluruhan volume kebutuhan dalam negeri. Salah satunya yaitu biji plastik tipe Polipropilena yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri aneka tenun plastik yang memiliki kebutuhan sebesar 1.723 ribu ton per tahun, hanya mampu dipenuhi oleh industri hulu biji plastik dengan kapasitas produksi 870 ribu ton pertahun. Sehingga kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi tersebut harus diimpor dari luar negeri.
Pemerintah sendiri telah memberikan fasilitas Bea Masuk Di Tanggung Pemerintah (BMDTP) sejak tahun 2008, kepada industri sektor tertentu atas impor barang dan bahan baku, dimana khusus tahun 2020 dan 2021 hanya diberikan kepada perusahaan yang terkena dan terdampak covid -19.
Sedangkan mekanisme BMDTP sendiri syaratnya setiap tahun diajukan oleh pemerintah,dari keuangan selanjutnya ke DPR supaya mendapatkan ABPN alokasi anggaran setiap tahunnya. Dengan syarat 40% untuk kepentingan umum, 30,% daya saing industri, 20% peningkatan tingkat kerja dan 10% pendapatan negara. Jadi pemerintah mengharapkan dengan ada bea masuk ini, sektor pajak lainnya bisa meningkat. Akan tetapi penyerapan dari fasilitas BMDTP sejak tahun 2008 sangat rendah dibandingkan dengan alokasi yang diberikan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal yaitu antara lain waktu penggunaan fasilitas BMDTP yang sangat singkat sejak peraturan kementrian terkait dikeluarkan setiap tahunnya, administrasi pengajuan dan permohonan realisasi BMDTP yang panjang. Fasilitas BMDTP juga harus diverifikasi oleh lembaga surveyor yang ditunjuk pemerintah.
Ditempat terpisah Ketua Umum Asosiasi GIATPI Tjahyo Santoso menambahkan, “Yang kami khawatirkan adalah seperti kami ini kalah dengan negara lain seperti Vietnam contohnya, karena selisih Bea Masuk import bahan baku kita sangat jauh dengan Vietnam, yaitu 3% untuk Vietnam dan Indonesia sendiri 10%. Dengan kondisi seperti ini akan sangat sulit bersaing. Yang kita takutkan terjadi adalah barang jadi Vietnam banyak yang masuk ke Indonesia. Sedangkan barang kita sendiri tidak bisa menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri. Dengan adanya bea masuk ini, kami minta pertimbangan dari pihak pemerintah agar supaya benar benar meninjau kembali dengan adanya Bea masuk ini”harapnya.
Kalau bea masuk diberlakukan terlalu tinggi, maka yang terbeban adalah industri hilir nasional dan produsen lokal/masyarakat sendiri karena harus membayar lebih mahal akibat dari bea masuk Sedangkan barang jadi import dari negara Asean (vietnam) bisa masuk Indonesia tanpa bea masuk sejak diberlakukannya ASEAN Free Trade. Pertanyaan nya adalah kenapa hanya industri bahan baku plastik yang mendapat proteksi, sedangkan industri hilir barang jadi plastik, yang merupakan industri padat karya yang memperkerjakan puluhan ribu karyawan, tidak mendapatkan dukungan yang semestinya. Asosiasi GIATPI menginginkan agar pemerintah mengevaluasi kembali besaran tarif bea masuk biji plastik yang ditetapkan agar dapat setara dengan tarif bea masuk yang diberlakukan di negara ASEAN lainnya yang merupakan saingan terdekat, seperti Vietnam agar industri hilir di Indonesia juga dapat bersaing secara seimbang.
(rudy korlip)
1,161 total views, 1 views today