Ini Alasan Juru Parkir Jalan Tunjungan Surabaya Tolak Penerapan Q-RIS; Dikarenakan Pendapatan Turun.

Ini Alasan Juru Parkir Jalan Tunjungan Surabaya Tolak Penerapan Q-RIS; Dikarenakan Pendapatan Turun.

indopers.net | Surabaya – Usai viralnya aksi Paguyuban Juru parkir Surabaya (PJS) yang menolak sosialisasi pemasangan barcode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) untuk bayar parkir di Jalan Tunjungan beberapa hari lalu, penerapan belum bisa berjalan.

Jeane Taroreh Kepala UPTD Parkir Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya menyebut, masih akan rapat lagi untuk menentukan kapan sosialisasi diulang. Terutama lima titik termasuk Jalan Tunjungan yang jadi pilot project.

Sementara ungkap Fery Fadli wakil ketua PJS dan Faisal salah satu jukir di Jalan Tunjungan mengaku ikut menolak kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, karena alasan berkurangnya pendapatan.

“Aku 30 (35) persen dapatnya. Kalau misal 200 ribu (pendapatan sehari) aku hanya 60 ribu,” katanya saat dimintai keterangan awak media indopers, Rabu (10/1/2024).

Rata-rata dari penghasilan sehari, dia mengaku bisa mencapai Rp150 ribu selama satu shift berjaga mulai pukul 09.00-16.00 WIB.

Selama ini, lanjutnya, ia hanya wajib setor Rp40 ribu dengan 16 karcis yang diberi Dishub.

“Mau sepi atau ramai tetap setor 40. Sehari Rp150 ribu lebih (pendapatan). Disetor 40 ribu masih ada 110 ribu. Paling ramai bisa Rp200 ribu,” bebernya.

Selama ini, minimnya karcis membuat Faisal tidak memberikan karcis ke pengunjung, kecuali diminta.

“Mobil tarifnya lima ribu, motor dua ribu. Kalau minta dikasih (karcis), Kalau gak ya gak,” terangnya.

Ia mengaku setuju dengan penerapan QRIS asalkan pembagian hasil, prosentasenya lebih besar diberikan ke jukir.

“60 (persen) nya buat aku. Kalau nggak, nanti datang, tolak lagi tetap,” tandasnya.

Sementara awak media ini meminta keterangan salah satu jukir ditempat parkir yang berbeda lokasi, di kawasan Balai Kota Surabaya yang diklaim dishub sudah diterapkan sejak tahun lalu, jukir mengaku tetap memperbolehkan pengunjung membayar tunai.

“Nggak keberatan (ada kebijakan ini). Saya kadang ada yang tunai, ada QRIS, ada kartu flazz (e-Money), boleh,” kata Sujai (62 tahun), jukir yang digaji Dishub.

Ia mengaku tetap memperbolehkan pembayaran tunai karena memang tidak ada sosialisasi dari Dishub untuk melarang menerima uang. “Belum ada sosialisasi,” katanya.

Pendapatannya sehari memang jauh dibanding di Jalan Tunjungan, tapi berapa pun pendapatannya baik tunai dan non tunai, lanjutnya, diserahkan ke Dishub.

“Sekarang pegawai banyak dipindah jadi agak sepi. Gak sampai Rp100 ribu. Yang diserahkan seadanya. Saya sudah dapat gaji dari Dishub,” jelasnya. (khoiron)

 471 total views,  2 views today

indopers.net

Menyampaikan Kebenaran Yang Jujur Untuk Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *