Pemkab Pamekasan Mencari Solusi Untuk Meningkatkan Serapan Tembakau Serta Harga Yang Berpihak Kepada Petani.
indopers.net, Pamekasan (Madura) – Pemerintah kabupaten (Pemkab) Pamekasan Pendirian kawasan industri hasil tembakau (KIHT) di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur merupakan wujud pembelaan pemerintah kabupaten (pemkab) setempat terhadap para petani tembakau.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Pamekasan, Ajib Abdullah mengungkapkan, tembakau Madura berkembang sejak zaman belanda atau sekitar tahun 1800, sejak itu tembakau varietas Madura ini sangat menguntungkan pertani. Bahkan, orang Madura biasa melaksanakan hajatan setelah panen tembakau karena cukup menjanjikan.
Harga yang tinggi membuat tembakau Madura disebut daun emas oleh masyarakat lantaran mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, tembakau Madura tidak lagi mengembirakan akibat harga yang kurang memihak kepada petani.
Menurut Ajib, luasan lahan tembakau di Pamekasan saat cuaca bagus mencapai 30 ribu hektar. Sementara pada tahun 2020 tercatat seluas 24 ribu hektar. Luasan lahan ini jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Sampang.
“Pasarnya semua ada di Pamekasan. Jadi perwakilan pembelian pabrikan rokok besar semuanya ada di Pamekasan. Kecuali satu di Guluk-Guluk yang masuk wilayah Sumenep. Memang tembakau Madura sangat besar produksinya,” ungkapnya, Senin (27/12/2021).
Salah satu faktor yang merusak harga tembakau Madura adalah masuknya tembakau luar atau tembakau Jawa. Makanya, untuk melindungi itu terdapat peraturan daerah (perda) nomor 04 tahun 2015 tentang tata niaga, budidaya, dan perlindungan tembakau Madura.
“Di Pamekasan ketika musim tembakau dalam perda itu sudah diatur bahwa tembakau Jawa tidak boleh masuk ke Pamekasan. Itu untuk melindungi tembakau Madura,” katanya.
Menurutnya, Pemkab Pamekasan mencari solusi untuk meningkatkan serapan tembakau petani serta harga yang berpihak kepada petani. Salah satunya dengan mendirikan KIHT. Sebab, adanya KIHT, tembakau petani akan terserap secara maksimal dengan harga yang sesuai.
“Terkait dengan harga, kami setiap tahun memang menghitung BEP (break event point), tahun 2020 sekitar 38 ribu perkilo gram, meskipun di lapangan pembelian jarang yang mencapai angka 38 ribu itu,” pungkasnya.
(Muhklis)
471 total views, 1 views today