SEMANGAT BELAJAR SISWA VS SEMANGAT MENGAJAR GURU ?
Oleh: Muslich Taman, Humas SMAN I Rumpin, Peserta Diklat PM Lokus SMAN I Parung KCD. Wil. I Disdik Prov Jawa Barat
indopers.net | Bogor (Jabar) – Di ruang-ruang kelas, sering kita mendengar guru menasihati murid agar rajin belajar, tekun membaca, dan disiplin mengerjakan tugas. Namun, nasihat yang diucapkan dengan lisan seringkali kalah kuat dari apa yang ditunjukkan oleh perbuatan. Sesungguhnya, semangat belajar siswa sangat ditentukan oleh semangat mengajar guru.
Di balik keberhasilan murid, hampir selalu ada aura batin seorang guru: doanya, energinya, ketulusannya, atau sebaliknya —suka ngeluhnya, ketidakikhlasan, asal-asalannya, atau bahkan kemalasannya.
Pantulan Aura dan Energi Batin Guru
Setiap guru adalah “pancaran energi” bagi murid-muridnya. Seorang guru yang masuk kelas dengan mata berbinar, penuh gairah mengajar, berbagi motivasi, memberi doa, dan tulus menemani proses belajar, akan memancarkan vibrasi positif yang segera ditangkap murid. Sebaliknya, guru yang lesu, cemberut, memikul beban masalah, tidak siap mengajar, atau sekadar menggugurkan kewajiban, akan memancarkan energi negatif yang menumpulkan antusiasme murid.
Murid —terutama anak-anak dan remaja— adalah makhluk yang peka. Mereka membaca raut wajah, suara, bahasa tubuh, dan ketulusan guru jauh lebih tajam daripada yang kita sangka. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa semangat murid adalah cermin dari semangat guru.
Pentingnya Meluruskan Niat bagi Guru
Dalam tradisi keilmuan Islam, niat adalah pondasi dari segala amal. Guru, sebagai pendidik yang memikul amanah besar, harus terlebih dahulu mengoreksi niatnya. Apakah ia mengajar semata karena kewajiban? Karena materi? Atau karena ingin melihat perubahan pada diri muridnya? Menjadi sumber inspirasi dan pelita yang menyinari kegelapan.
Sebelum guru meminta murid bersemangat belajar, ia harus bertanya pada diri sendiri: “Sudahkah aku menunjukkan semangat yang sama ketika mengajar?”
Lebih dari itu, keteladanan guru adalah sarana paling kuat untuk mendidik. Satu tindakan nyata jauh lebih membekas daripada seratus nasihat yang kosong dan hampa.
Keteladanan dalam Perspektif Paedagogik
Dalam teori pendidikan modern maupun klasik, keteladanan (modeling) adalah inti dari proses pendidikan. Albert Bandura, psikolog terkemuka, menyebut bahwa manusia belajar paling efektif melalui observational learning—belajar dengan melihat contoh. Maria Montessori menegaskan, “Every word we say and every act we do becomes part of the child’s soul.”
John Dewey bahkan mengatakan, “Education is not preparation for life; education is life itself,” menekankan bahwa yang dipelajari murid bukan hanya materi, tetapi cara guru menjalani proses belajar itu sendiri.
Dalam khazanah pendidikan Islam, para ulama menempatkan keteladanan sebagai syarat utama keberhasilan pendidikan. Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumiddin, “Perbaiki dirimu terlebih dahulu, niscaya urusan orang lain akan membaik dengan sendirinya.”
Ibn Miskawayh, tokoh etika Islam, meyakini bahwa akhlak murid dibentuk melalui interaksi intens dengan figur yang ia kagumi —dalam hal ini gurunya. Maka, guru bukan sekadar pengajar, tetapi pembentuk karakter.
Spiritualitas Keteladanan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an mengajarkan bahwa tugas utama para rasul—yang juga merupakan pendidik umat—adalah menjadi teladan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Keteladanan Rasul bukan hanya ucapan, tetapi tindakan nyata, akhlak, sikap, dan konsistensi. Tak hanya itu, Al-Qur’an juga memberi peringatan keras kepada siapa pun yang hanya suka ngomong, mengatakan sesuatu yang tidak ia kerjakan.
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2–3)
Ayat ini sangat relevan bagi dunia pendidikan: guru yang menasihati murid agar rajin, disiplin, jujur, atau bersungguh-sungguh, tetapi tidak menampakkan sikap itu pada dirinya, sejatinya sedang meruntuhkan wibawa pendidikannya sendiri.
Guru Sebagai Transformator Nilai dan Karakter
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan; pendidikan adalah transformasi nilai dan karakter. Dan transformasi hanya mungkin terjadi jika guru:
- hadir dengan niat yang tulus dan hati yang bersih,
- menunjukkan semangat dan tekad yang tinggi,
- dan memberikan teladan nyata melalui perilakunya.
Seorang guru tidak hanya mengajar matematika atau bahasa Indonesia atau PAI. Ia mengajarkan kesabaran, ketekunan, kejujuran, ketulusan, dan cinta belajar melalui dirinya sendiri.
Jika guru datang ke kelas dengan penuh cinta, murid akan belajar dengan penuh cinta.
Jika guru mengajar dengan semangat, murid akan belajar dengan semangat.
Jika guru tulus mendoakan, murid akan terbiasa mendoakan
Jika guru bersungguh-sungguh, murid pun akan bersungguh-sungguh.
Penutup
Bangsa yang maju, lahir dari ruang-ruang kelas yang hidup. Ruang kelas yang hidup tercipta dari guru yang hidup —yang berjiwa besar, bersemangat, dan penuh keteladanan. Semangat murid adalah pantulan dari semangat guru. Maka, sebelum guru mengeluhkan murid yang malas, lesu, atau tidak disiplin, marilah bercermin: Energi apa yang sedang kita pancarkan kepada mereka?
Guru adalah pelita. Dan pelita yang menyala akan selalu menyalakan cahaya pada sekelilingnya. Semoga setiap guru mampu menjadi cahaya yang memantik semangat belajar murid-muridnya, bukan hanya melalui kata-kata, tetapi terutama melalui sikap dan keteladanannya. Wallahu a`lam bis-shawab. (Sopian A).
45 total views, 45 views today






