Pelajaran Dari Pati Untuk Seluruh Bupati Dan Pemimpin di Negeriku, Oleh Dr. Muslih Taman, LC., Praktisi Pendidikan, Diaspora Pati Tinggal di Bogor Jawa Barat

Pelajaran Dari Pati Untuk Seluruh Bupati Dan Pemimpin di Negeriku, Oleh Dr. Muslih Taman, LC., Praktisi Pendidikan, Diaspora Pati Tinggal di Bogor Jawa Barat

indopers.net | Pati (Jateng) – Mendadak menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi atau inovasi kebijakan, tetapi karena gelombang demonstrasi besar-besaran yang meledak seperti api yang menjilat rumput kering. Rakyat berbondong-bondong turun ke jalan mengajukan tuntutan: mundur atau pemakzulan bupati. Imbas kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Bupati Sudewo yang dianggap sewenang-wenang menaikkan tarif PBB-P2 hingga mencapai 250 %. Tak hanya itu, mereka juga menuding sang bupati telah berlaku arogan, mengabaikan aspirasi warga, dan menunjukkan sikap menantang serta tidak bijaksana dalam kepemimpinannya.

Apa yang terjadi di Pati bukan hanya persoalan lokal. Ini adalah peringatan keras dari rakyat kepada para pemimpinnya. Dan ini terjadi menjelang tasyakur kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia -sebuah momentum refleksi nasional. Seakan-akan, Tuhan sedang menyampaikan sebuah pesan penting dari Pati untuk seluruh bupati, wali kota, gubernur, dan para elit di tingkat nasional: jadilah pemimpin yang benar-benar memihak rakyat, bukan yang berdiri di atas kepala rakyat.

Peristiwa di Pati hari ini bisa jadi luka, tetapi juga bisa jadi pelajaran berharga. Jangan biarkan api ini menjalar ke daerah lain. Jadikan ini kesempatan menata kembali relasi antara rakyat dan pemimpinnya. Momentum untuk kembali menghayati makna kemerdekaan —bukan sekadar seremoni dan lomba-lomba, tetapi kesempatan untuk memerdekakan rakyat dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kezhaliman, dan kepemimpinan miskin nurani.

Semoga dari Pati, mempertegas kembali kesadaran bagi seluruh pemimpin negeri ini. Bahwa jabatan adalah amanah, bukan kesempatan untuk mengeruk kekayaan atau saat memamerkan kesombongan dan kekuatan. Bahwa rakyat bukan beban, tetapi sebab dan alasan utama seorang pemimpin bisa berdiri di tempatnya dan duduk di kursinya. untuk dilindungi dan ditunaikan hak-haknya.
Data yang terhimpun di lapangan, terkait peristiwa demo massa hari Rabu tanggal 13 Agustus 2025 di Pati, hingga pukul 15.11 WIB, sekurang-kurangnya ada 57 korban, dengan beragam kondisi luka dan tingkat keparahan yang dideritanya. Semoga gelombang demo massa berhenti sampai di sini dan situasi berangsur kondusif dan normal kembali. Saatnya semua menahan diri dan mengambil hikmahnya. Kalau ada yang perlu diproses secara hukum, maka hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jangan hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Dari peristiwa yang ada, banyak pelajaran penting yang menjadi bahan renungan bersama:

Pertama: Pemimpin harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Kebijakan publik, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti pajak, harus diputuskan dengan hati-hati. Prosesnya harus transparan, partisipatif, dan rasional. Lonjakan pajak 250% tanpa komunikasi yang matang adalah blunder besar. Pemimpin tidak boleh sembarangan dalam berkomunikasi. Perkataan pemimpin adalah cerminan sikap kekuasaan. Ucapan yang meremehkan atau menantang rakyat bisa menjadi bara yang membakar stabilitas. Lidah seorang pemimpin bisa menjadi alat pemersatu, tetapi juga bisa jadi pemicu konflik, bahkan pertumpahan darah.

Kedua: Sikap arogan, membawa petaka. Arogansi adalah musuh utama kepemimpinan yang bijak. Pemimpin yang merasa paling tahu, merasa kuat, menutup telinga terhadap kritik, dan memandang remeh rakyat, akan cepat kehilangan simpati dan legitimasi. Kekuasaan tanpa empati hanya akan menumpuk kemarahan.

Ketiga: Rakyat kecil seperti rumput kering yang mudah terbakar. Rakyat memang sabar, tetapi jangan diuji terus. Rakyat memang lemah, tetapi bukan untuk diinjak-injak. Ketika mereka merasa dizhalimi dan tidak didengar, maka percikan kecil saja bisa memicu ledakan sosial. Kobaran api yang membara. Di Pati, itulah yang terjadi. Kurang apa kuatnya orde baru? Pun begitu, dibuat gulung tikar oleh kekuatan rakyat yang bersatu.

Keempat: Semua pihak harus menahan diri dan mengedepankan musyawarah. Konflik tidak akan selesai dengan saling keras kepala. Perlu ruang-ruang dialog yang tulus, bukan sekadar formalitas. Pemimpin harus menjadi fasilitator musyawarah, bukan sumber ketegangan. Kemarahan dan permusuhan tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Kelima: Sampaikanlah aspirasi dengan cara yang baik, tanpa anarkis. Demonstrasi adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi. Tapi menyuarakan aspirasi juga harus dilakukan dengan tertib, tanpa kekerasan atau perusakan. Kekuatan moral rakyat justru ada pada kedewasaannya dalam bersikap.

Keenam: Siapa pun yang melanggar hukum, harus ditindak. Baik itu pejabat atau rakyat biasa. Hukum harus berdiri tegak tanpa pandang bulu. Jika ada penyalahgunaan kekuasaan, proses hukum harus dijalankan. Begitu pula jika ada tindakan anarkis, harus ditindak secara adil dan proporsional. Kita tidak butuh pemenang atau pecundang. Yang kita butuhkan adalah solusi. Rekonsiliasi bukan berarti membenarkan kesalahan, tetapi membuka jalan untuk saling memahami, memperbaiki, dan membangun bersama.

Ketujuh: Jangan ada yang ditunggangi kepentingan yang merusak agenda pembangunan dan persatuan. Di tengah gejolak seperti ini, seringkali ada pihak-pihak yang mencoba menunggangi kepentingan. Baik dari kalangan politik, bisnis, atau kelompok tertentu yang ingin memperkeruh suasana dan mendapatkan keuntungan sepihak. Waspadalah. Rakyat Pati dan seluruh masyarakat Indonesia harus cerdas menjaga agenda pembangunan dan persatuan. Demi menyongsong Indonesia Emas yang kita cita-citakan bersama. Semoga terwujud. Amin.(Sopian A)

 169 total views,  169 views today

indopers.net

Menyampaikan Kebenaran Yang Jujur Untuk Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!