Yandri Susanto Mendes PDT Akhirnya Minta Maaf Atas Pernyataannya Yang Bikin Gaduh di NKRI Ini.

Yandri Susanto Mendes PDT Akhirnya Minta Maaf Atas Pernyataannya Yang Bikin Gaduh di NKRI Ini.

indopers.net | Jakarta – Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, yang menyebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wartawan sebagai “Bodrex” memicu gelombang protes dari kalangan pers dan aktivis.

Istilah “Bodrex”–merek obat sakit kepala generik–dianggap melecehkan profesi yang selama ini berperan sebagai pilar demokrasi.

Menurut data sekitar 67 persen jurnalis Indonesia merasa stigmatisasi terhadap profesi mereka meningkat dalam lima tahun terakhir, terutama dari pejabat publik.

Ramses Sitorus, Ketua Umum Aliansi Anti Narkoba dan Tindak Korupsi Anggaran (ANTARTIKA), bersama 1.200 perwakilan wartawan dan LSM dari 34 provinsi termasuk Forum Wartawan & LSM Kalbar Indonesia mendatangi kantor Kementerian Desa PDT untuk klarifikasi pada Senin 3 Februari 2025.

“Aksi ini menjadi momentum langka. Yang di mana ribuan insan pers dan aktivis bersatu menuntut pertanggungjawaban retorika pejabat negara,” kata perwakilan Forum Wartawan&LSM Kalbar Indonesia di Jakarta, Bambang.

Aspirasi, Klarifikasi, dan Permintaan Maaf

Pertemuan yang digelar di Jakarta ini berlangsung dalam suasana kekeluargaan, meski diwarnai ketegangan awal.

Menurut catatan Sekretaris Jenderal Forum Wartawan&LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi, 85 persen peserta menyatakan kecewa dengan istilah “Bodrex” yang dinilai mengerdilkan peran kontrol sosial.

Ia menegaskan, “Kritik bukanlah sakit kepala yang perlu diredam, melainkan vitamin untuk membangun tata kelola yang sehat.”

Para perwakilan LSM menyoroti data Kementerian Hukum dan HAM yang mencatat 12.450 LSM terdaftar. Dengan 80 persen fokus pada isu pembangunan desa.

Sementara itu, menurut Dewan Pers, terdapat 47.000 wartawan aktif di Indonesia yang 40 persen di antaranya meliput isu pemerintahan daerah.

“Jika kami ‘Bodrex’, lalu apa obat untuk pejabat yang alergi transparansi?” kata Sekretaris Jenderal Forum Wartawan&LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi menggambarkan ironi pernyataan menteri.

Merespons hal ini, Mendes PDT Yandri Susanto secara terbuka meminta maaf dan menyatakan bahwa maksudnya hanya menyinggung oknum yang kerap memeras pemda atas nama investigasi.

“Saya analogikan ‘Bodrex’ sebagai simbol solusi instan, bukan untuk merendahkan. Tapi saya sadar analogi itu keliru,” ujarnya. Permintaan maaf tertulisnya — yang dibacakan di depan peserta — menjadi penanda rekonsiliasi.

Antara Pelecehan dan Miskomunikasi

Adapun publik seantero menilai ucapan Mendes PDT Yandri Susanto sebagai bentuk pelecehan sistematis, sementara 30 persen menganggapnya sekadar miskomunikasi.

Satire pun bermunculan di media sosial. Salah satu meme viral menggambarkan Mendes PDT Yandri Susanto sebagai pasien yang menolak diagnosis dokter (LSM) sembari meminum Bodrex.

Akun X (Twitter) @WartawanBebas menulis: “Jika LSM dan pers adalah Bodrex, maka KPK adalah ‘Insto’ — obat mata yang menguak kabut korupsi.”

Sinergi Pasca-Klarifikasi Langkah Konkret ke Depan

Sebagai tindak lanjut, Kementerian Desa PDT berkomitmen membentuk Forum Sinergi Media-LSM-Pemerintah (Forsimpel) yang akan bertemu triwulanan.

Sekretaris Jenderal Forum Wartawan&LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi mengusulkan tiga agenda prioritas:

  1. Pelatihan Etika Bersama untuk 5.000 jurnalis dan aktivis LSM.
  2. Sistem Pengaduan Terintegrasi bagi masyarakat untuk melapor jika ada pemerasan atas nama investigasi.
  3. Apresiasi Tahunan bagi 10 LSM dan 15 wartawan berintegritas dalam pengawasan pembangunan desa.

Ketika Pejabat Mengidap Alergi Kritik

Metafora “Bodrex” secara tak langsung mengungkap kegelisahan pejabat terhadap fungsi checks and balances.

Jika dianalogikan, sikap antipati terhadap kritik ibarat meminum obat penghilang rasa sakit tanpa mengobati sumber penyakit.

Padahal, menurut laporan Global Corruption Barometer, 54 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa tekanan media dan LSM efektif mencegah korupsi.

Satire lain muncul dalam komik digital karya senama @Narsis_Negara yang menggambarkan Mendes PDT Yandri Susanto sebagai “Pasien X” yang divonis “Hipertensi Demokrasi” oleh dokter bernama “LSM”.

Resepnya? Bukan Bodrex, melainkan “pil transparansi” dan “sirup partisipasi publik”.

Membangun Desa Tanpa Obat Peredam

Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi empatik antara pemerintah dan civil society.

Seperti diingatkan Sekretaris Jenderal Forum Wartawan&LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi, “Membangun desa bukan sekadar infrastruktur, tetapi juga membangun kultur menghargai perbedaan pendapat.”

Dengan klirens data bahwa 70 persen program desa terbantu oleh pengawasan LSM dan pers, kolaborasi bukan stigmatisasi adalah kunci.

Seperti kata pepatah Minang, “Di mana ada kritik, di situ ada harapan” — selama semua pihak bersedia mendengar tanpa prasangka. (sopian A)

 150 total views,  150 views today

indopers.net

Menyampaikan Kebenaran Yang Jujur Untuk Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!