“BASA-BASI SERTIFIKASI SAWIT PTPN V”
indopers.net, Redaksi – Sejak 2018, PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) telah memperoleh ser tifikasi dari International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) serta Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), karena dianggap memenuhi (compliance) dengan standar sustainability dan komitmen bisnis dan HAM sebagaimana digariskan oleh Panduan Prinsip-Prinsip PBB untuk Bisnis dan HAM (UNGPs). Dengan sertifikasi tersebut, PTPN V telah menikmati harga premium dari penjualan atas produk Sawit dengan keuntungan puluhan milair per tahun.
Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, PTPN V ternyata masih mempraktikkan cara-cara bisnis yang tidak sepenuhnya sejalan dengan standar-standar yang menjadi acuan pemberian sertifikasi tersebut. Saat ini annual surveillance audit/ assessment sedang dilakukan oleh RSPO. Kegiatan ini merupakan audit tahunan untuk kembali memeriksa apakah PTPN V masih layak memperoleh sertifikasi RSPO, atau sebaliknya, ditemukan standar-standar yang tidak lagi dipenuhi, sehingga bisa saja hasil audit akan merekomendasikan peninjauan ulang sertifikasi RSPO atau hanya akan memperoleh partial compliance, sehigga PTPN V harus kembali memperbaiki sustainability policy dan mempraktikkannya secara serius.
Salah satu prinsip utama dalam bisnis dan HAM serta keberlanjutan adalah free, prior, inform-consent atau persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan, yang kemudian tercermin dalam kemitraan yang setara antarpara pemangku kepentingan (multistakeholders). Dalam konteks kinerja PTPN V, prinsip ini seharusnya dipatuhi oleh PTPN V dalam mengelola kemitraan dengan petani plasma. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, PTPN V gagal memenuhi kewajiban standar-standar yang telah ditetapkan oleh RSPO maupun oleh UNGPs.
Bagaimana mungkin, PTPN V memperoleh sertifikasi RSPO padahal sejumlah koperasi yang menjadi mitra PTPN V mengalami berbagai pelanggaran HAM, PTPN V tidak mengelola keuangan kemitraan secara transparan, penghancuran organisasi rakyat dengan membentuk koperasi-koperasi tandingan, dan bahkan menggunakan tangan-tangan penegak hukum untuk mengkriminalisasi petani. Jadi sertifikasi RSPO yang diperoleh PTPN V bisa jadi hanya basa-basi karena berhasil menutupi keburukan-keburukan perusahaan yang sudah belasan tahun terus disembunyikan. RSPO bekerja berdasarkan portofolio yang di-submit oleh PTPN V dan juga mewawancarai orang-orang yang juga ditunjuk dan didesain oleh PTPN V sebagai pihak yang diaudit (auditee). Dengan cara kerja ini, wajar PTPN V bisa memoles citra positif di atas kertas.
Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) yang beranggotakan 997 dan saat ini tengah memperjuangkan hak-haknya yang dirampas PTPN V, adalah contoh paling nyata, bagaimana prinsip bisnis dan HAM dilanggar. Alih-alih mengadopsi model penyelesaian konflik sebagaimana rekomendasi lembaga sertifikasi internasional, PTPN V lebih memilih jalan pintas yang justru mempertegas bahwa PTPN V adalah salah satu entitas bisnis terdepan yang melanggar HAM.
Selain Kopsa M, nasib sama juga dialami oleh sejumlah koperasi lain. Ada Koperasi Iyo Basamo, masyarakat adat Pantai Raja dan lain-lain, yang semuanya dinyatakan oleh Audit Keungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas PTPN V tahun 2005, sebagai kemitraan yang bermasalah dan menuntut penyelesaian dan hingga kini masih bermasalah.
Para auditor RSPO mesti jeli menangkap fakta lapangan. Human Rights Due Diligence harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses audit RSPO. Jika RSPO bekerja hanya berdasar pada data yang sudah disulap, maka integritas RSPO akan bernasib sama seperti sertifikasi yang diproduk oleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang akhirnya tidak dipercaya publik.
Jakarta,
Ketua SETARA Institute,
HENDARDI
816 total views, 1 views today