Pegawai Perhutani Pulau Jawa Unjuk Rasa di Kawasan Monas Menuntut Pembatalan KHDPK.
indopers.net, Jakarta – Ribuan pegawai Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) yang tergabung dalam Serikat Karyawan Perhutani menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (18/5/2022).
Para demonstran menuntut pemerintah membatalkan pemberlakuan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Kebijakan baru tersebut ada dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 Tahun 2022.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah membangun tata pengelolaan Hutan Jawa melibatkan pihak-pihak yang kompeten, bukan memprioritaskan kelompok tertentu, dan memperkuat Perum Perhutani sebagai pengelola Hutan Jawa.
Peserta yang hadir dalam aksi damai penyelamatan Hutan Jawa hari ini adalah rimbawan Perhutani yang berasal dari Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Banten dan Jakarta.
“Dengan adanya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, seluas kurang lebih 1,1 juta hektare Hutan Jawa menjadi Kawasan hutan dengan pengelolaan khusus yang berpotensi memicu kerusakan Hutan di Jawa dan Madura,” ujar Noor Rochim Setgab Dewan Pengurus Wilayah Serikat Karyawan Perhutani lewat pesan tertulis yang diterima indopers.net, Rabu (18/5/2022).
Pulau Jawa seluas 11 hektare, merupakan tempat hidup 56 persen Penduduk Indonesia. Kawasan hutan yang berfungsi menyokong hidup hanya seluas 3 juta hektare, di mana 2,4 juta hektarenya dikelola Perum Perhutani sebagai BUMN yang fokus pada pelayanan publik.
Selama ini, Perum Perhutani sesuai amanah undang-undang mengelola hutan wajib melibatkan masyarakat sekitar hutan. Keterlibatan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
“Penerapan KHDPK berpotensi menimbulkan kerusakan hutan yang merupakan aset negara pengalihan pengelolaan aset pada lokasi hutan itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara,” imbuhnya.
Seluruh kawasan hutan produksi dan lindung di Jawa sudah menjalin kemitraan. Berlakunya KHDPK dan adanya pengelola baru berpotensi menimbulkan konflik horizontal, bahkan bisa memicu kehancuran Hutan Jawa.
“Berkurangnya 1,1 juta hektar areal kerja Perum Perhutani akan berdampak pada 17 ribu karyawan beserta keluarga dan jutaan mitra kerja Perum Perhutani karena Perhutani harus berjibaku mengamankan hutan dengan tingkat konflik yang tinggi,” papar Noor
Kemudian, kelangsungan bekerja terancam karena pemerintah bisa memperluas pengelolaan khusus sehingga tidak ada kepastian area kerja.
Lalu, jutaan mitra kerja Perum Perhutani yaitu masyarakat sekitar hutan yang tergantung langsung kepada hutan akan terancam kesejahteraannya.
Kekhawatiran lainnya, sambung Noor Rochim, adalah hilangnya Hutan Jawa. Padahal, di dalam hutan ada hak-hak publik yaitu perlindungan terhadap bencana, tersedianya air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai.
Hutan juga sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati, tempat kegiatan budaya dan spiritual, sebagai sarana pertahanan dan keamanan negara serta fungsi-fungsi lainnya.
Akses publik terhadap hutan yang semula terbuka karena dikelola oleh Perum Perhutani akan menjadi terbatas setelah berlakunya KHDPK.
“Pengelolaan hutan harus dilakukan secara profesional, berkeadilan melibatkan pihak yang kompeten. Pengelolaan khusus berpotensi mengabaikan hal-hal penting tersebut karena hutan seolah-olah aset pribadi kelompok atau perorangan,” tandasnya.
(udn)
540 total views, 2 views today