BPK: “Leasing Harus Lewat Pengadilan Untuk Sita Kendaraan”

BPK: “Leasing Harus Lewat Pengadilan Untuk Sita Kendaraan”

indopers.net, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang jaminan fidusia, dinilai akan membuat kasus penarikan paksa atas barang oleh kreditur atau leasing melalui debt collector yang menunggak cicilan bakal kian sering terjadi.

Namun, Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) meminta masyarakat melihat lagi putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 terkait hal tersebut. Ketua BPKN, Rizal E Halim, mengatakan keterangan mengenai isi yang mengutip beberapa bagian dalam putusan MK harus dipahami secara utuh. Sehingga tidak terjebak pada asumsi yang menyimpang dari putusan itu sendiri.

Rizal menganggap putusan MK Nomor 18/PUU/XVII/2019 dan putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 sudah tepat dalam memberikan kepastian hukum, serta menempatkan kedudukan hukum yang seimbang antara kreditur atau pelaku usaha dan debitur atau konsumen.

Untuk itu, Rizal merasa putusan tersebut wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak (erga omnes) sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku tentang eksekusi terhadap benda sebagai objek jaminan fidusia. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia memang merupakan alternatif pilihan, sepanjang debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda sebagai objek dari jaminan fidusia.

“Artinya, apabila tidak ada kesepakatan mengenai cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan atas menyerahkan secara sukarela benda sebagai objek dari jaminan fidusia, kreditur wajib melaksanakan eksekusi jaminan fidusia melalui penetapan PN,” kata Rizal melalui keterangan resminya, Senin (27/9/2021).

“Putusan ini sejalan pula dengan kebijakan OJK yang mewajibkan kepada debt collector atau penagih utang perusahaan pembiayaan untuk mengikuti sejumlah ketentuan dalam proses penagihan kepada konsumen, seperti membawa dokumen yaitu kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Firman Turmantara, menegaskan perusahaan pembiayaan wajib mengirim surat peringatan terlebih dahulu kepada konsumen terkait kondisi kolektabilitas yang sudah macet. Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan. Penagihan juga mestinya dilakukan dengan menghindari tekanan-tekanan bersifat fisik atau verbal.

Ketentuan lain, kata Firman, penagih harus memperlihatkan perjanjian antara perusahaan debt collector dengan Lembaga Pembiayaan dan dalam eksekusinya harus didampingi petugas kepolisian sesuai Perkap Nomor 8 Tahun 2011 tentang Eksekusi kendaraan/unit jaminan fidusia. Menurut Firman, selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector.

Cara penarikannya juga seringkali dilakukan sewenang-wenang. Misalnya, debt collector melakukan langsung kepada konsumen di mana dan kapan saja.

“BPKN RI menilai Ketentuan MK ini sudah tepat, yakni demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan konsumen serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Oleh karena itu, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” tutur Firman.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi memutuskan klausul tersebut dalam sidang Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 15 Ayat 2 dan 3 tentang Jaminan Fidusia, yang terbit tanggal 31 Agustus 2021.

Sebetulnya, putusan MK ini menolak permohonan gugatan yang dilayangkan seorang penagih agunan bernama Joshua Michael Djami. Dia menilai keberadaan putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mengubah ketentuan Pasal 15 UU Fidusia, berdampak signifikan bagi debt collector.

Soalnya, klausulnya berbunyi kreditur tidak bisa secara sepihak menarik objek jaminan fidusia, seperti kendaraan atau rumah, hanya berdasarkan sertifikat jaminan.

Meski menolak gugatan, MK menambahkan frasa yang memberi angin segar bagi pihak leasing melakukan penarikan tanpa pengadilan. Putusan ini tertuang dalam Nomor 2/PUU-XIX/2021 yakni di halaman 83 paragraf 3.14.3.

Berikut bunyi putusan tersebut:

Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri.

(udn)

 300 total views,  1 views today

indopers.net

Menyampaikan Kebenaran Yang Jujur Untuk Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!